Senin, 23 Februari 2009

KH. Rahmat Abdullah




    Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
      Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
    Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
    Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
    Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
     Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
    Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
    Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
    Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
    Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
    Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
    Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
   Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
   Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
   Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
   Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
   Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
    Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
   Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.
   Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
    Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu
     Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
    Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
    Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
   Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
    Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
    Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).
    Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. "Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.
Selamat jalan guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan.


Sumber : http://www.warisansangmurabbi.com/data/index.biografi.html

Kamis, 19 Februari 2009

Hj. Irena Handono



Hj. Irena Handono Mendapat Hidayah di Biara
05 Nov 03 - 2:49 pm

Allah selalu memberi petunjuk kepada siapa saja yang mencari kebenaran, dimana pun hamba-Nya berada, di biara sekali pun. Itulah yang terjadi pada Irena Handono yang mendapat hidayah justru saat mencari kelemahan Islam. Ketika membaca surat Al Ikhlas hatinya tunduk akan keesaan Allah swt. Ia mengakui bahwa tak ada yang paling berkuasa dan patut disembah di jagad raya ini selain Sang Khalik.

Berikut penuturannya kepada Siwi WulAndari dari Majalah Hidayah:
Mendapat hidayah di Biara

Aku dibesarkan dalam keluarga yang rilegius. Ayah dan ibuku merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi aku sudah dibabtis, dan sekolah seperti anak-anak lain. Aku juga mengikuti kursus agama secara privat. Ketika remaja aku aktif di organisasi gereja.

Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang Katholik,
hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Semakin aku besar, keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan satu-satunya dalam hidupku.

Kehidupanku nyaris sempurna, aku terlahir dari keluarga yang kaya raya, kalau diukur dari materi. Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan, betapa besarnya. Kami berasal dari etnis Tionghoa. Ayaku adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya, beliau merupakan salah satu donatur terbesar gereja di Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.

Aku amat bersyukur karena dianugrahi banyak kelebihan. Selain materi, kecerdasanku cukup lumayan. Prestasi akademikku selalu memuaskan. Aku pernah terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja.

Ketika remaja aku layaknya remaja pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai oleh
mereka, bahkan aku menjadi favorit bagi kawan-kawanku. Intinya, masa mudaku kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah. Namun demikian aku tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi, walalupun semua fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan untuk menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus
SMU, aku memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan itu.

Tentu saja orang tuaku terkejut. Berat bagi mereka untuk membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dengan mereka. Sebagai pemeluk Katholik yang taat, mereka akhirnya mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka justru bangga punya adik yang masuk biarawati.Tidak ada kesulitan ketika aku melangkah ke biara, justru kemudahan yang kurasakan. Daribanyak biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi tugas ganda. Yaitu kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Salah satu dari biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya.

Dalam usia 19 tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yakni pendidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi. Di tempat inilah untuk pertama kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah, dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama kami sedangkan agama lain itu tidak baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek. Di Indonesia yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.

Aku mengatakan kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat negara-negara lain, hiliphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani itu tak kalah amburadulnya. Aku juga mencontohkan negara-negara penjajah seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu merampok negara Palestina. Jadi tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan. Aku jadi tertarik mempelajari masalah ini. Solusinya, aku minta ijin kepada pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu al- Qur'an dan Hadits. Usulan itu diterima, tapi dengan catatan, aku harus mencari kelemahan Islam.

Kebenaran surat Al Ikhlas

Ketika pertama kali memegang kitab suci al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan, mana yang belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat, akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah.

Ketika aku pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca al-Quran
dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan membukanya dari kanan. Yang pertama kali aku pandang, adalah surat Al Ihlas.

Aku membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hatiku membenarkan bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. "Ini 'kok bagus, dan bisa diterima!" pujiku lagi.

Pagi harinya, saat kuliah teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi
pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan trinitas, atau tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji lagi surat al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku pada akhirnya.

Maka hari berikutnya terjadi dialog antara saya dan dosen-dosen saya. Aku katakana, "Pastur (Pastur), saya belum paham hakekat Tuhan."
"Yang mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur.
Dia maju ke papan tulis sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama dengan kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.

"Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi," tanyaku lebih mendalam.

Dosen menjawab, "Tidak bisa!"

Aku jawab bisa saja, kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar. Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak boleh.

Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.

"Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas Pastur.
Aku katakana, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana?

"Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas Pastur mengakhiri. Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan yang mendorong saya untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas. Ini terus berkelanjutan, sampai akhirnya aku bertanya kepada Pastur,

"Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.

"Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.

"Lalu kenapa?" tanya Pastur lagi.

"Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah jadi tukang kayu," saya mencoba menjelaskan.

"Apa maksud Anda?" Tanya Pastur penasaran.

Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya
termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.

Malamnya, kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka pikir, ini 'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?.

"Sebetulnya saya tahu," ucapku.

"Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya? Coba jelaskan!" tantang mereka.

"Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik RT jelas pelantikan itu tidak syah."

"Apa maksud Anda?" Mereka semakin tak mengerti.

Saya mencoba menguraikan, "Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta
dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak syah." Keluar dari Biara Malam berikutnya, saya kembali mengkaji surat al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya saya bertanya mengenai sejarah gereja.

Menurut semua literratur yang saya pelajari, dan kuliah yang saya terima, Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.

Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada. Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan sampai pada pertemua berikutnya, dalam al-Quran yang saya pelajari, ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya yakin tidak ada manusia yang mampu.

Kebiasaan mengkaji al-Qur'an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah.

Saya mengambil keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, saya sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari al-Qur'an surat Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.

Jadi saya keluar dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru mengucapkan dua kalimah syahadat. Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung bercampur sedih. Sekeluarnya dari biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian aku menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah menikah, ya selesai! Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi suamiku adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami kerap kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan pertengkaran, karena kalau aku mulai bicara tentang Islam, dia menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan. Ketika dia menyudutkan, aku akan membelanya, maka jurang pemisah itu semakin membesar, sampai pada klimaksnya.

Aku berkesimpulan kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak
mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku semua.

Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus, diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur periode yang lalu.Aku beberapa kali berkonsultasi dan mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali iamenjawab dengan jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap dengan konsekwensinya?"

"Siap!" jawabku.

"Apakah Anda tahu konsekwensinya?" tanya beliau.

"Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari keinginanku masuk Islam semakin kuat.

"Kenapa dengan dengan perkawinan Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau lagi.

"Islam" jawabku tegas.

Akhirnya rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun. Setelah resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku tetap pada agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Alhamdulillah, saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.

Shalat pertama kali

Setelah aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai seorang muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku berikrar, aku langsung melaksanakan shalat.

Pada saat itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar. Banyak kamar
terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia piker ada orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.

Hari berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat itulah terjadi keretakan diantara kami.

Agama baruku yang kupilih tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan rumah. Aku
mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap datang menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga yang lain sampai sekarang.

Aku bukannya tak mau berdakwah kepada keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun ibu tidak
senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya identik dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas. Pendapat ibu sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.
Tahun 1992 aku menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku diberikan rejeki
sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam sampai pergi haji, aku selalu menggerutu kepada Allah, "kalau Engkau, ya Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang kebanyakan itu. Dengan begitu, saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus berliku-liku seperti ini?" ungkapku sedikit kesal.


Di Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud syukur.
Alhamdulillah aku mendapat petunjuk dengan perjalan hidupku seperti ini. Aku merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang sudah Islam tujuh turunan belum tentu mengerti nikmat iman dan Islam.

Islam adalah agama hidayah, agama hak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio. Agama Islam adalh agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya analisis kita, insya Allah, Allah akan memberi. Firman Allah, "Apakah sama orang yang tahu dan tidak tahu?"

Sepulang haji, hatiku semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula aku kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini. Alhamdulillah tidak banyak kesulitan bagiku untuk belajar membaca kitab-kitab. Allah memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan berdakwah. Aku begitu lancar dan banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, aku kerap kali diundang berdakwah di Jakarta. Begitu banyak yang Allah karuniakan kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, aku dilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya luar biasa.

Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa hidupku, matiku hanya karena Allah.

Sumber: http://swamuslim.net// dan http://www.alhikmah.com/

Senin, 09 Februari 2009

Ahmed Deedat



"Do da'wah as the christians are working hard in Iran.Use my material and pray for me"
[Ahmed Deedat]


Ahmed Hoosen Deedat lahir di daerah Surat, India, pada tahun 1918. Ia tidak dapat berkumpul dengan ayahnya sampai tahun 1926. Ayahnya adalah seorang penjahit yang karena profesinya hijrah berimigrasi ke Afrika Selatan tidak lama setelah kelahiran Ahmed Deedat.

Tanpa pendidikan formal dan untuk menghindar dari kemiskinan yang sangat pedih, Ahmed Deedat pergi ke Afrika Selatan untuk dapat hidup bersama ayahnya pada tahun 1927. Perpisahan Deedat dengan ibunya pada tahun kepergiannya ke Afrika selatan menyusul ayahnya itu adalah saat terakhir ia bertemu ibunya dalam keadaan hidup karena beliau meninggal beberapa bulan kemudian.

Di negeri yang asing, seorang anak laki-laki kecil berusia 9 tahun tanpa berbekal pendidikan formal dan penguasaan bahasa Inggris mulai menyiapkan peran yang harus dimainkannya berpuluh-puluh tahun kemudian tanpa disadarinya.

Dengan ketekunannya dalam belajar, anak laki-laki kecil tersebut tidak hanya dapat mengatasi hambatan bahasa, tetapi juga unggul di sekolahnya. Kegemaran Deedat membaca menolongnya untuk mendapatkan promosi sampai ia menyelesaikan standar 6. Kurangnya biaya menyebabkan sekolahnya tertunda dan di awal usia 16 tahun untuk pertama kalinya is bekerja dalam bidang retail (eceran).

Yang terpenting dari ini semua adalah pada tahun 1936 sewaktu Ia bekerja pada toko muslim di dekat sebuah sekolah menengah Kristen di pantai selatan Natal. Penghinaan yang tak henti-hentinya dari siswa misionaris menantang Islam selama kunjungan mereka ke toko menanamkan keinginan yang membara pada diri anak muda tersebut untuk melakukan aksi menghentikan propaganda mereka yang salah.

Sudah ditakdirkan, Ahmed Deedat menemukan sebuah buku berjudul Izharul-Haq yang berarti mengungkapkan kebenaran. Buku ini berisi teknik-teknik dan keberhasilan usaha-usaha umat Islam di India yang sangat besar dalam membalas gangguan misionaris Kristen selama penaklukan Inggris dan pemerintahan India. Secara khusus, ide untuk menangani debat telah berpengaruh besar dalam diri Ahmed Deedat.

Dibekali dengan semangat yang baru ditemukannya ini, Ahmed Deedat membeli Injil pertamanya dan mulai melakukan debat dan diskusi dengan siswa-siswa misionaris. Ketika mereka mundur tergesa-gesa tidak beraturan dalam menghadapi argumen baliknya yang tajam, ia secara pribadi memanggil guru mereka dan bahkan pendeta-pendeta di daerah tersebut.

Keberhasilan-keberhasilan ini memacu Ahmed Deedat untuk berda'wah. Bahkan perkawinan, kelahiran anak, dan singgah sebentar selama tiga tahun ke Pakistan sesudah kemerdekaannya tidak mengurangi antusias atau keinginannya untuk membela Islam dari penyimpangan-penyimpangan yang memperdayakan dari para misionaris Kristen.

Dengan semangat misionaris untuk memproyeksikan kebenaran dan keindahan Islam, Ahmed Deedat membenamkan dirinya pada sekumpulan kegiatan lebih dari tiga dekade yang akan datang. Ia memimpin kelas untuk pelajaran Injil dan memberi sejumlah kuliah. Ia mendirikan As-Salaam, sebuah institut untuk melatih para dai Islam. Ahmed Deedat, bersama-sama dengan keluarganya, hampir seorang diri mendirikan bangunan-bangunan termasuk masjid yang masih dikenal sampai saat ini.

Ahmed Deedat anggota awal dari Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan menjadi presidennya, sebuah posisi yang masih dipegangnya sampai hari ini. Ia menerbitkan lebih dari 20 buku dan menyebarkan berjuta-juta salinan gratis.

Ahmed Deedat mengirim beribu-ribu materi kuliah ke seluruh dunia dan berhasil melawan pengabar-pengabar Injil pada debat umum. Beberapa ribu orang telah menjadi Islam sebagai hasil usahanya.

Sebagai penghargaan yang pantas untuk prestasi yang bersejarah itu, ia mendapat penghargaaan internasional dari Raja Faisal tahun 1986. Penghargaan bergengsi yang sangat berharga dalam dunia Islam.




Tak ada sejumlah hadiah dan penghargaan dapat benar-benar menangkap intisari dan semangat seseorang untuk Islam, termasuk bunga rampai buku ini. Buku yang mendemonstrasikan himpunan analisis Ahmed Deedat diambil dari pertemuan-pertemuan pribadi dan pengalaman-pengalamannya melawan gangguan umat Kristen.

Semoga Allah memberkahinya untuk buku ini, seseorang untuk diikuti dan semua usahanya untuk Islam, Insya Allah.

Minggu, 01 Februari 2009

Ahmadinezhad



Mahmoud Ahmadinejad atau bisa dibaca Ahmadinezhad (bahasa Persia: ; lahir 28 Oktober 1956) adalah Presiden Iran yang keenam. Jabatan kepresidenannya dimulai pada 3 Agustus 2005. Ia pernah menjabat walikota Teheran dari 3 Mei 2003 hingga 28 Juni 2005 waktu ia terpilih sebagai presiden. Ia dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang mempunyai pandangan Islamis.

Lahir di desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 100 km dari Teheran, sebagai putra seorang pandai besi, keluarganya pindah ke Teheran saat dia berusia satu tahun. Dia lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi.

Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan terjadinya krisis sandera Iran.

Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil dari 1993 hingga Oktober 1997.

Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003. Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar, pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak mendukungnya dalam pemilu tersebut.

Ahmadinejad diketahui pernah bertengkar dengan Presiden Mohammad Khatami, yang lalu melarangnya menghadiri pertemuan Dewan Menteri, suatu hak yang biasa diberikan kepada para walikota Teheran. Dia telah mengkritik Khatami di depan umum, menuduhnya tidak mengetahui masalah-masalah sehari-hari warga Iran.


Ahmadinejad memberi salam hormat kepada Ayatollah KhameneiSetelah dua tahun sebagai walikota Teheran, Ahmadinejad lalu terpilih sebagai presiden baru Iran. Tak lama setelah terpilih, pada 29 Juni 2005, sempat muncul tuduhan bahwa ia terlibat dalam krisis sandera Iran pada tahun 1979. Iran Focus mengklaim bahwa sebuah foto yang dikeluarkannya menunjukkan Ahmadinejad sedang berjalan menuntun para sandera dalam peristiwa tersebut, namun tuduhan ini tidak pernah dapat dibuktikan[1].



Suatu ketika Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:

"Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"

Jawabnya : "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya."Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."

Berikut adalah bagaimana penyiar menggambarkan dirinya.


Ulama adalah posisi yang paling tinggi dimata Ahmadinejad
Ahmedi Najad, adalah presiden Iran yang membuat orang ternganga, karena pada saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Iran Istana yang sangat tinggi nilai maupun harganya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya seorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, eko nomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan.

Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 sepertikarpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.

Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut.

Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?

Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipulikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.

Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka.

Dan foto terakhir memperlihatkan ruang makan dimana presiden sedang menikmati makanannya.

Itulah Pribadi Seorang Ahmadinejad, Seorang Presiden Iran yang namanya di takuti Amerika Serikat. Adakah Calon presiden kita yang seperti ini ?

Dr. Aidh Al-Qarni





Penulis kelahiran 1379 H (1960 M) ini memiliki nama lengkap Dr. `Aidh Abdullah bin `Aidh al-Qarni. Nama al-Qarni diambil dari dari daerah asalnya di wilayah selatan Arab Saudi.

Ia menamatkan program sarjana (Lc), magister (M.A.) dan doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su`ud, Riyadh, Arab Saudi. Ia hafal Al-Quran dan kitab Bulughul Maram, serta telah mengajarkan 5.000-an hadis dan 10.000-an bait syair. Sekitar 1.000-an judul kaset yang berisi ceramah agama, kuliah, serta kumpulan puisi dan syair karyanya telah dipublikasikan.

Keberaniannya menyuarakan kebenaran juga sempat membuatnya merasakan jeruji besi pemerintah Al-Saud. Kesalahannya saat itu, ia dan kawan-kawan ulama mudanya berani berteriak lantang menentang kehadiran pasukan Amerika Serikat di Arab Saudi atas undangan pemerintah Al-Saud.

Karya-karya Al-Qarni antara lain `Islam Rahmatan Lil `Alamin` (Cakrawala), `Sumber Inspirasi Orang Saleh`(Maghfirah Pustaka), `40 Hadis Qudsi dan Zikir`(Aqwam), `Membangun Rumah dengan Taqwa` (Maghfirah Pustaka), `Cahaya Pencerahan`(Qishti), `Cahaya Zaman`(Gema Insani), `Jangan Takut Hadapi Hidup`(Cakrawala), `Demi Masa, Beginilah Waktu Mengajari Kita` (Cakrawala), `Nikmatnya Hidangan Al-Quran`(Maghfirah Pustaka), dan `Manusia Langit Manusia Bumi`(Aqwam).

Sementara buku yang sangat laris yang diterbitkan sejumlah penerbit dan dicetak berulang kali adalah `La Tahzan, Jangan Bersedih` (Qishti Press), `Tips Menjadi Wanita Paling Bahagia di Dunia` (Maghfirah), `Menjadi Wanita Paling Bahagia` (Qishti Press), `Ramadhankan Hidupmu`(Maghfirah Pustaka), `Tersenyumlah`(Gema Insani), `Jangan Putus Asa`(Robbani Press), dan `Jangan Berputus Asa` (Darul Haq).

Karya lain yang juga terbilang sukses di Indonesia adalah `Jagalah Allah, Allah Menjagamu` (Darul Haq), `Majelis Orang-Orang Saleh`(Gema Insani), `Cambuk Hati`(Irsyad Baitus Salam), `Bagaimana Mengakhiri Hari-harimu`(Sahara Publisher), `Berbahagialah`(Pustaka Al-Kautsar) dan(Gema Insani), `Power of Love` (Zikrul Hakim), `Al-Azahamah, Keagungan`(Pustaka Azzam), `Menakjubkan!`(Aqwam), `Jadilah Pemuda Kahfi`(Aqwam), `Mutiara Warisan Nabi SAW`(Sahara Publisher), dan `Gerbang Kematian` (Pustaka Al-Kautsar).

Al-Qarni juga dikenal sebagai tokoh pembaruan di Arab Saudi yang mencoba melakukan pendekatan dengan `aliran` lain. Tulisannya setiap pekan di harian Asharqul Awsath selalu ditunggu pembaca dan menaikkan tiras koran yang semula diterbitkan di London itu. (Musthafa Helmy)

Aidh Al Qarni, Berdakwah Seumur Hidup

Ketika berada di balik jeruji penjara, Aidh Al Qarni memilih untuk terus menulis. ''Saya masuk penjara karena saya menulis 50 bait qasidah (puisi) yang di anggap punya pengaruh politik,'' ujarnya. Berlembar-lembar tulisan pun menjadi bukti ketekunan pria yang lahir di tahun 1379 H dan berasal dari perkampungan al-Qarn, sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi, ini menjalani hari-harinya di penjara. ''Sekitar 100 halaman pertama saya tulis di penjara,'' katanya. Setelah keluar dari penjara, Aidh Al Qarni melanjutkan tulisannya. Untuk menyelesaikan lembar-lembar itu, dia membutuhkan referensi 300 judul buku. Hingga akhirnya, lahirlah buku La Tahzan yang diterjemahkan dengan Jangan Bersedih. Hasilnya sungguh fenomenal. Inilah buku yang telah diterbitkan oleh puluhan penerbit dan mencapai angka penjualan fantastis.

Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 29 bahasa dunia. ''Di Arab Saudi, buku itu sudah dicetak kurang lebih 1,5 juta eksemplar,'' kata Al Qarni Di Indonesia, buku ini juga sempat menjadi buku terlaris. Kelebihan buku Al Qarni terlihat pada bahasan-bahasannya yang fokus, penuh hikmah, dan selalu memberi jeda untuk merenung sebelum berlanjut pada bahasan berikut. Pada bagian penutup, hadir pula kata-kata bijak yang menjadi intisari tulisan-tulisan sebelumnya. Dalam bukunya pula, Al Qarni mengajak pembaca agar tidak menyesali kehidupan, tidak menentang takdir, atau menolak dalil-dalil dalam Alquran dan sunnah.



Dalam kunjungan kali pertama di Indonesia, Al Qarni yang masih hafal Al qur'an, 5000 hadits, dan 10 ribu bait syair Arab klasik hingga kontemporer ini sempat bertandang ke sejumlah tempat dan menemui tokoh nasional. Saat itulah wartawan Daman huri Zuhri dan Burhanuddin Bella berhasil menemui sosok yang terkenal dengan sikap lembutnya itu. Dengan diperkaya keterangan dari sejumlah sumber, Al Qarni pun bertutur tentang buku, kegiatan dakwah, dan kehidupan pribadinya.



Mengapa Anda memberi judul La Tahzan (Jangan bersedih). Apa sesungguhnya yang mendorong Anda memberi judul seperti itu?

Pertama, ini alasan dari Alquran. Seperti yang difirman Allah SWT : La tahzan wa laa takhof (Janganlah bersedih dan janganlah takut). Ayat ini disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ketika bersama-sama sahabatnya Abu Bakar Ash-Shid diq memasuki Gua Tsur sebelum melakukan hijrah ke kota Yatsrib, Madinah al Munawwarah. Kedua, sesungguhnya kesedihan itu adalah penyakit alam seluruhnya. Muslim atau bukan Muslim, orang pasti mengalami kesedihan. Sedih karena sakit, sedih karena meninggal, sedih karena kesulitan hidup dan berbagai masalah. Jadi, karena alasan itulah makanya buku ini saya beri judul La Tahzan.



Anda dikenal sebagai seseorang yang banyak menulis dan membaca buku. Sebenarnya, apa pedoman-pedoman atau petunjuk-petunjuk praktis supaya lebih mudah dalam mendapatkan ilmu?

Kaidah pertama seseorang yang menuntut ilmu bagi kaum Muslimin untuk mendapatkan ilmu adalah ikhlasun niat lillahi ta'ala. Karena dengan niat yang ikhlas, Allah akan membuka hati seorang Muslim. Kedua, kita mempelajari ilmu secara bertahap, berjenjang, tabarruj. Jangan kita langsung kepada masalah-masalah besar nanti kita tidak bisa menguasai. Ketiga, hendaklah kita membaca. Tapi, membaca saja tidak cukup kita ambil ilmunya dari para masyarih (yang menguasai masalah). Orang-orang berilmu yang mengerti masalah, sehingga ilmu kita kalau dari buku saja bisa saja pemahaman kita salah. Tapi, ketika kita membahasnya dengan orang-orang yang mengerti, insya Allah, pemahaman kita akan lebih mantap dan ilmu kita akan lebih lurus. Keempat, ketika kita sudah mengetahui satu masalah tentang ilmu kita, amalkan. Jangan hanya dijadikan teori hingga akhirnya ilmu kita tidak berkah. Sebagaimana orang Yahudi dalam Alquran waktu mereka membatalkan janji-janji kepada nenek moyang mereka itu yang membuat hati mereka sesat dan menjadi batu. Ini i'tibar bagi kita sekalian. Kelima, kalau kita sudah punya ilmu dan paham benar maka ajarkan kepada orang lain. Jangan disimpan untuk diri sendiri. Berikan ilmu kita kepada orang lain sehingga banyak manfaatnya untuk masyarakat menjadi amal saleh bagi kita.



Aktivitas Al Qarni boleh dibilang tidak jauh dari kegiatan membaca dan menulis. Bahkan, ketika masih mendekam dalam penjara, dua aktivitas inilah yang membuatnya sibuk. Menimba ilmu adalah hal utama bagi pria yang mendalami ilmu syariah dan dakwah. Pria yang kini berusia 48 tahun ini menuntut ilmu di Madrasah Ibtidaiyah Ali Salman, dia juga belajar di Ma'had Ilmi sejak bangku SMP, hingga meraih gelar S1 dan S2 di tempat yang sama. Gelar doktor dalam bidang hadits diraihnya dari Al-Imam Islamic University, Riyadh.

Selama 25 tahun, dia mengarungi dunia dakwah. Kaset-kaset ceramahnya telah beredar dan berkumandang di sejumlah masjid, yayasan, universitas, dan sekolah di berbagai belahan dunia. Kitab-kitab karyanya yang berjumlah lebih dari 70 buah itu telah pula diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Maka, ketika terbetik kabar dia akan mengundurkan diri dari dunia dakwah, banyak orang yang terkaget-kaget dan bertanya-tanya, ''Apakah ini keputusan terakhir sang tokoh?''



Ada informasi bahwa Anda akan mengundurkan dari kegiatan dakwah. Apa benar?

Saya memang pernah menulis 70 bait dalam bahasa Arab. Dalam salah satu bait tersebut ada yang sempat disalahpahami oleh media massa bahwa saya akan berhenti dalam berdakwah. Media massa di Arab Saudi menafsirkan sendiri yang kemudian dikutip oleh berbagai media massa di beberapa negara bahwa saya akan berhenti dalam berdakwah. Padahal sebenarnya tidak begitu. Dakwah itu kewajiban syar'i seorang Muslim sejak dia mampu sampai meninggal. Ini seperti firman Allah SWT: Hatta ya' tiyakal yaqinu (Sampai maut menjemputmu, red). Jadi, saya tidak akan meninggalkan dakwah. Dakwah akan saya laksanakan seumur hidup saya sampai saya meninggal.



Berkembangnya berita rencana pengunduran Anda dari dunia dakwah dipicu adanya tudingan bahwa masjid yang selama ini digunakan sebagai sarana dakwah dianggap sebagai tempat sarang teroris. Bagaimana menurut Anda?

Saya pribadi tidak pernah mengungkapkan masalah ini. Saya pikir ini adalah semacam fitnah dari orientalis, dari orang-orang yang tak suka dakwah berkembang pesat. Mereka berusaha untuk memecah belah umat Islam. Selama ini, alhamdulillah, masjid-masjid kita sebagai markas dakwah, markas orang-orang untuk menuntut ilmu, tempat melaksanakan ibadah, tempat melaksanakan ajaran Islam dengan baik kondisinya sangat bagus. Jadi, kita harus mewaspadai tipu daya dan fitnah yang dilakukan orang-orang yang tidak suka terhadap Islam, yang ingin terus berupaya memecah belah umat Islam.



Dunia dakwah sudah menjadi bagian dari hidup Anda. Sebenarnya, apa saja bekal yg harus dipersiapkan demi dakwah?

Seperti mobil yang tidak bisa berjalan kalau tidak ada bahan bakarnya, maka da’i perlu bahan bakar supaya dia bisa bergerak di dalam dakwah. Apa bahan bakar kita? Yaitu, tegakkanlah shalat, banyak bersedekah, banyak berdoa, banyak membaca Al qur'an, banyak zikrullah. Shalat, sedekah, doa, baca Al qur'an, zikrullah adalah bekal seorang da’i. Bagaimana dia bisa berjalan kalau tidak menjalankan ini. Apakah kamu mengajak orang kepada al birri wat taqwa tapi engkau melupakan dirimu sendiri?



Apa pandangan Anda terhadap penghinaan Rasulullah SAW yang dilakukan media Barat , sehingga menimbulkan reaksi demonstasi di berbagai belahan dunia Muslim?

Demonstrasi untuk membela hak-hak kaum Muslimin dan penghormatan terhadap symbol -simbol Islam --seperti yang kita lihat dilakukan Denmark kepada Rasulullah SAW-- ketika dilakukan dengan baik adalah sesuatu yang patut disyukuri. Saya bersyukur kepada dunia Islam atas sikap mereka yang baik untuk membela Islam. Tapi, saya menyayangkan kalau demonstrasi bersifat anarkis, merusak, membakar, dan menghancurkan. Islam tidak mengajarkan begitu. Dan saya melihat Anda sekalian saudara-saudaraku di Indonesia berdemonstrasi dengan baik dan sangat tertib seperti yang saya lihat di televisi dan insya Allah itu menjadi demonstrasi yang dapat dicontoh dengan baik oleh masyarakat dunia Islam. Saya sebagai da’i dan seorang Muslim bersyukur atas aktivitas yang baik yang dilaksanakan itu.



Selama berada di Indonesia, Al Qarni sempat beristirahat selama dua hari di kawasan Puncak, Jawa Barat. ''Dia sangat kagum dengan air terjun dan pepohonan. Biasanya, setelah menyaksikan air terjun dan pohon-pohon, dia merenung. Kalau sudah begitu, dia tak mau diganggu,'' tutur Anis Mas Tuhin, chief editor Qisthi Press, yang selalu menemani Aidh Al Qarni. Qisthi Press adalah pemilik hak cipta untuk menerbitkan buku La Tahzan versi bahasa Indonesia. Saat berada di Puncak, kata Anis, Al Qarni tampak mengagumi pemandangan yang dipenuhi banyak gunung. Dia biasanya menatap pemandangan sambil menulis catatan. Kerap makan nasi kebuli, tidak jarang Anis melihat Al Qarni hanya memesan roti. ''Dia paling senang buah-buah Indonesia, seperti pisang,'' tuturnya. Anis menangkap kesan, Aidh Al Qarni adalah seorang moderat dan terbuka. Al Qarni, disebutnya, sangat responsif terhadap orang-orang yang menemuinya. ''Orangnya ramah,'' Anis menuturkan. Terhadap bencana beruntun yang menimpa bangsa Indonesia, Al Qarni, kata Anis, berpesan kepada umat Islam Indonesia, ''Jangan bersedih. Insya Allah ada jalan keluar.''



Bagaimana latar belakang keluarga Anda?

Orang tua saya seorang tokoh masyarakat di daerah saya. Saya berasal dari keluarga ulama. Sejak kecil ayah sudah membawa saya ke masjid untuk shalat berjamaah. Saya juga sudah terbiasa dengan bacaan sejak kecil. Tampaknya saya dididik menja di pejuang dakwah. Ayah selalu membelikan buku bacaan untuk saya.



Ada berapa anggota keluarga Anda? Apakah mereka diarahkan seperti Anda menjadi

penulis?

Anak saya enam, dari dua istri. Saat bersama keluarga, biasanya saya isi dengan bermain bola bersama anak-anak. Saya selalu menyediakan waktu untuk keluarga. Saya tidak mengarahkan anak-anak saya seperti diri saya. Saya serahkan anak-anak menentukan masa depan mereka sendiri. Terserah mau jadi apa nantinya. Itu tergantung mereka sendiri. Yang saya selalu tekankan adalah pendidikan agama, terutama menyangkut akhlak dan moral.



Biasanya, nama Aidh itu dipakai oleh orang-orang Yaman atau khadhari. Apakah Anda termasuk keturunan Yaman?

Kakek-kakek saya dari Al-Anshari di Yaman. Jadi, saya keturunan Yaman. Ini untuk perkenalan saja. Kalau khadhari, mereka mempunyai jasa yang besar, mereka kebanyakan pedagang-pedagang yang sukses dalam usaha mereka baik di bidang dakwah. Mereka menjadi da’i, ahli ilmu yang sangat banyak jasanya bagi Islam khususnya di Indonesia.



Bagaimana Anda mengisi waktu luang?

Tiap sore saya selalu menyiapkan waktu untuk keluarga selama 2-3 jam. Tiap Jumat saya libur total, kecuali kegiatan dakwah. Di luar itu, pagi saya membaca di perpustakaan. Usai shalat Dzuhur saya menulis, 4-5 halaman. Habis Maghrib biasanya saya berdakwah. Saya mengisi acara dakwah di televisi (Saudi Arabia). Kegiatan dakwah ini biasa juga dimulai selesai Ashar hingga Isya. Saya mengisi acara dialog interaktif di televisi.

(dari : Republika Online)



http://mualaf.com/modules.php?name=News&file=article&sid=286



Tidak Sama Antara Yang Berilmu dan Yang Tidak Berilmu



"Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui". (QS. Az Zumar: 9). Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasu-Nya SAW atau kepada orang-orang yang mengikuti petunjuknya untuk bertanya kepada umat manusia seluruhnya, apakah sama orang-orang yg memiliki ilmu dengan orang-orang yg tidak memiliki ilmu; baik dalam keyakinan, perbuatan & perkataannya, maupun amal ibadahnya, tindak-tanduk & perilakunya serta tutur katanya, jelas jawabannya tentu tidak sama, fakta membuktikan orang yg berilmu sangat berbeda kehidupan & perilakunya dengan orang-orang yg tidak berilmu.



(dari : Titian Ilmu, Ust Ali Musri MA., http://muslim.or.id/?p=183)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 029/th.03/Safar-Rabi'ul Awal 1428H/2007M